tafsir dakwah al-an'am: 90

| Minggu, 13 November 2016

Kitab Tafsir     : Tafsir Al-Misbah
Tafsir Ayat tentang Keikhlasan dan Ketulusan
أولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ
Artinya : “ Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk Allah, maka dengan petunjuk mereka hendaklah (engkau) ikuti. Katakanlah: “ Aku tidak meminta kepada kamu atasnya upah. Ia tidak lain kecuali peringatan untuk seluruh alam” “. ( QS. Al-An’am (6) : 90 )
Setelah menjelaskan kedudukan tinggi hamba-hamba-Nya yang mendapat petunjuk, lebih-lebih para nabi yang disebut nama-namanya sebelum ini, maka kepada Nabi Muhammad SAW yang tidak disebut namanya dalam ayat yang lalu diarahkan ayat ini, yakni mereka para nabi yang disebut nama-namanya itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk yang sempurna oleh Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, maka dengan petunjuk mereka khususnya yang berkaitan dengan sikap dan sifat istimewa masing-masing dalam berdakwah hendaklah engkau ikuti, yakni teladani.
Lanjutan ayat ini menjelaskan salah satu sikap mereka yang menonjol yang perlu diteladani yaitu tidak menerima upah, karena itu diperintahkan kepada Nabi SAW : Katakanlah kepada semua yang engkau ajak bahwa : “ Aku tidak meminta kepada kamu atasnya, yakni atas dakwah yang kusampaikan termasuk penyampaian wahyu Al-Qur’an, sedikit upah pun. Ia, yakni Al-Qur’an atau dakwah itu tidak lain kecuali peringatan yang berlangsung sepanjang masa untuk seluruh alam khususnya bagi manusia dan jin.
Firman-Nya: maka dengan petunjuk itu hendaklah engkau ikuti mengisyaratkan bahwa hidayah dan petunjuk Allah yang diperoleh oleh para nabi itu adalah petunjuk yang sempurna. Penggalan ayat ini menjadi pengantar untuk menyebut secara khusus dan secara tersendiri Nabi Muhammad SAW. sambil menunjukkan betapa beliau telah menghimpun keistimewaan para nabi terdahulu. Ini, karena beliau mengindahkan perintah ini. Ditemukan sekian riwayat yang membuktikan hal tersebut. Ketika beliau diganggu oleh kaumnya, beliau berucap sambil bersabar: “Sesungguhnya Musa telah diganggu lebih dari gangguan yang kuhadapi ini, namun beliau bersabda (sehingga akupun harus bersabar).
Ayat yang memerintahkan beliau meneladani para nabi itu, menjadikan beliau tidak meneladani siapapun selain mereka walau orang-orang yang dikenal pada masa jahiliah sebagai orang-orang arif yang tidak menyembah berhala seperti Waraqah Ibn Naufal atau Zaid Ibn ‘Amr Ibn Naufal. Di sisi lain, perintah yang beliau amalkan itu mengantar beliau menyandang keistimewaan masing-masing nabi yang disebut namanya diatas. Misalnya meneladani Nabi Nuh dalam ketabahannya berdakwah, Nabi Ibrahim As dalam ketulusannya, Nabi Ismail As dalam keteguhannya memenuhi janji, Nabu Ayyub dan Nabi Ya’qub As dalam kesyukurannya menghadapi nikmat, Nabi Musa As dalam ketegasannya, Nabi Harun As dalam kelemahlembutannya, Nabi Isa, Yahya, Zakariya, dan Ilyas As dalam kejauhan mereka dari gemerlapan duniawi, Nabi Yunus As dalam ketekunannya berdo’a, sedemikian seterusnya.
Termasuk dalam kandungan perintah meneladani para nabi itu adalah perintah meneladani dalam prinsip-prinsip akidah, syari’at, dan akhlak. Adapun yang termasuk didalamnya rincian ajaran agama, maka para ulama berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa hal itupun termasuk yang hendaklah beliau teladani selama tidak ada pembatalan. Ini adalah pandangan madzab Malik dan Abu Hanifah berdasarkan beberapa pengamalan Nabi Muhammad SAW, yang menetapkan ketentuan berdasar kitab Taurat. Bertolak belakang dengan pandangan ini adalah madzab Syafi’i. Mereka berpegang pada firman-Nya yang menegaskan bahwa, “ setiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang tenang “ (QS. Al-Maidah (5) : 48). Pendapat ketiga membatasi yang harus diteladani pada syari’at dan tuntunan Nabi Ibrahim as berdasar firman-Nya: “ Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhamad): “ Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” (QS. An-Nahl (16): 123), dan pendapat keempat membatasinya pada syari’at Isa as atas dasar bahwa beliau adalah Nabi terakhir sebelum Nabi Muhammad SAW. Demikin Thahir Ibn ‘Asyur menyimpulkan pandangan ulama.
Huruf (ه) ha pada firman-Nya (اقتده) iqtadih dipahami oleh mayoritas ulama sebagai huruf yang menunjukkan tuntunan berdiam sejenak atau apa yang diistilahkan dengan saklah. Ia bukan pengganti nama sehingga ia tidak diterjemahkan.
Perintah ayat ini untuk menegaskan bahwa beliau tidak meminta upah, bukannya sebagai bantahan atas adanya tuduhan semacam itu, tetapi untuk menggarisbawahi  bahwa ajakan beliau semata-mata untuk kepentingan umat. Didahuluinya satu pernyataan oleh kata (قل) qul 'katakanlah’ dan ini banyak sekali terdapat dalam al-Qur’an antara lain dimaksudkan untuk menggarisbawahi pentingnya kandungan pernyataan itu. Pernyataan semacam ini adalah pernyataan para nabi kepada kaumnya sejak Nabi Nuh as. Bacalah antara lain (QS. Hud (11): 29)
Menurut Mutawalli asy-Syara’wi hanya dua rasul yang tidak mengemukakan pernyataan seperti itu, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Musa as, sebagaimana terbaca dalam surah as-Syu’ara (26). Ini menurutnya disebabkan karena yang dimaksud (اجر ) ajr ‘upah’ adalah manfaat yang diraih. Nabi Musa pernah mendapat manfaat dari Fir’aun ,seperti terlihat pada ucapan Fir’aun kepada Musa: “ Bukankah kami telah mengasuhmu diantara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu ?” (QS As-Syu’ara (26): 18). Demikian juga dengan Nabi Ibrahim as yang ketika itu menghadapi orang tuanya Azar. Ini karena orang tua walau kafir dan musyrik pasti telah memberi manfaat pada anaknya.
 Pendapat As-Sya’rawi itu tidak sepenuhnya dapat diterima, lebih-lebih jika perhatian tertuju pada kata ( اسالكم) as’alukum ‘aku meminta’ yang berbentuk kata kerja masa kini dan datang. Karena, itu berarti bahwa permintaan atau penerimaan sesuatu pada masa lampau. Apalagi yang ditekankan oleh ayat ini adalah upah menyangkut penyampaian ajaran agama, bukan selainnya. Nabi Musa as juga pernah bekerja pada Nabi Syu’aib  (baca QS al-Qashah (28): 27-28)
Penutup ayat diatas dapat juga dipahami dalam arti: Aku tidak meminta upah atas dakwah dan pengajaran yang aku sampaikan. Apa yang mendorong aku melakukannya tidak lain kecuali memberi peringatan dengan Al-Qur’sn dan petuah-petuah yang lain. Ini berarti bahwa beliau tidak meminta upah, disebabkan oleh dua hal. Pertama, peringatan dan nasihat untuk kemaslahatan mereka dan dalam hal ini beliau tidak membutuhkan balasan dari mereka. Yang kedua, peringatan untuk selain mereka bukan hanya khusus buat mereka.


edit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

calender

TIME

welcome

Pages

BTemplates.com

Weekly post

© Design 1/2 a px. · 2015 · Pattern Template by Simzu · © Content Moonlight and Starlight