Karakteristik mad'u non muslim
|
Rabu, 16 November 2016
I.
PENDAHULUAN
Berbicara
mengenai dakwah maka kita juga berbicara mengeanai tentang da’I dan mad’u,
karena hal itu merupakan salah satu dari unsur-unsur dakwah. Mad’u menjadi
objek dakwah yang sangat penting. Dakwah sangat penting untuk mengenalkan agama
islam kepada masyarakat luas. Seorang da’I yang menyampaikan dakwahnya kepada
mad’u itu sendiri. Mengenai mad’u maka kita tidak terlepas dari
pengklasifikasiannya.
Mad’u
menurut keyakinannya itu ada dua yaitu mad’u muslim dan mad’u non muslim.
Berbicara mengenai mad’u muslim kita sudah bisa melihat disekitar kita. Akan
tetapi mengenai mad’u non muslim kita perlu mempelajari hal itu lebih lanjut.
Untuk itu kita akan bahas lanjut mengenai mad-u non muslim dalam makalah ini.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
karakteristik mad’u non muslim ?
2. Apa
metode dakwah yang tepat terhadap mad’u non muslim ?
III.
PEMBAHASAN
A. Karakteristik
Mad’u nonmuslim
Dakwah
diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya
kepada kelompok tertentu dan tidak yang lainnya. Terkait dengan aneka ragam
keyakinan manusia di muka bumi, dakwah juga memiliki kepentingan untuk menarik
orang ke jalan Tuhan. Untuk itu, tentu saja dakwah dituntut untuk menyiapkan
strategi yang berbeda ketika berhadapan dengan para kelompok mad’u yang tidak
beragama islam.
Dalam
al-qur’an, nonmuslim, dalam artian mereka yang tidak mengimani Muhammad sebagai
Rasul, juga digolongkan dalam banyak kelompok, misalnya ahl-kitab, musyrikun,
dan kafirun.
Menurut
Abdul Moqsith Gazali dalam kajiannya tentang al-qur’an, kelompok Musyrikun,
sejauh penggunaan istilah al-qur’an, disebut untuk mewakili kaum pagan quraish
yang tidak mengimani Muhammad sebagai Rasul dan tidak memiliki pegangan kitab
suci pun. Adapun kelompok kafirun, disebut untuk menunjuk kepada mereka yang
gemar menutup-nutupi kebenaran dan memutarbalikkan fakta, baik dari golongan
musyrikun maupun ahl al-kitab. Khusus tekait dengan golongan terakhir,
dalam tinjauan ulama ternyata ditemukan polemik yang tidak mudah untuk
dikompromikan. Dalam bahasan ini, ada pendapat yang menyatakan bahwa ahl
al-kitab sebagai semua kelompok agama-agama di dunia yang memiliki pedoman
kitab suci dan tidak terbatas pada penganut Nasrani dan Yahudi adalah yang
dapat dipertanggungjawabkan.[1]
Sejauh
pandangan al-qur’an tentang kelompok ahl al-kitab, Moqsith menjelaskan,
bahwa lebih positif ketimbang pandangan al-qur’an tentang musyrikun. Demikian,
karena mereka itu dinilai sebagai kelompok yang beriman kepada Rasul dan
memiliki pandangan hidup “islam” (dalam arti pasrah kepada tuhan semesta alam)
seperti terejawantahkan dalam ajaran kitab suci mereka, walaupun mereka tidak
memiliki keyakinan islam par excelence. Penilaian tersebut, secara objektif,
juga disertai oleh kritik dan kecaman al-qur’an terhadap sikap-sikap tertentu
yang dinilai telah menyimpang dari pandangan hidup yang benar. Begitupun
al-qur’an melalui ayat-ayatnya masih menaruh simpati terhadap kelompok ahl
al-kitab dikarenakan banyaknya sisi kesamaan mereka dengan orang-orang
beriman pengikut nabi Muhammad. Melalui pandangan yang positif dan optimis itu,
al-qur’an sejatinya menaruh kepercayaan besar kepada kelompok ahl al-kitab dan
mengajak mereka untuk bersama-sama kaum beriman membina kehidupan global yang
lebih bermakna dan bernilai. Adapun pandangan-pandangan negatif dan keras
terhadap ahl al-kitab yang selama ini terdengar, sebetulnya lahir
belakangan bersamaan dengan sejarah dinamika perkembangan agama-agama yang
menurut orientalis Bernard Lewis, lebih disebabkan oleh faktor kesamaan antara
agama-agama itu ketimbang perbedaannya.[2]
Terkait
dengan dakwah, pemaparan ahl al-kitab yang kiranya sebagai repesentatif
dari kelompok mad’u nonmuslim, diharapkan mampu memberikan pandangan bijak
dalam menyampaikan pesan dakwah. Sebagai objek dakwah, di satu sisi kelompok
mad’u ini boleh dibilang secara intrinsik telah memiliki sikap “islam”
(berketuhana yang Maha Esa) seperti tersurat dalam ajaran kitab suci mereka, di
sisi yang lain mereka seperti pemaparan al-qur’an tidak lepas dari
penyimpangan-penyimpangan pandangan hidup yang benar. Gambaran inilah yang akan
menjadi dasar pijakan dalam pilihan metode dakwah terhadap ahl al-kitab seperti akan
didiskusikan kemudian di ruang lain dalam tulisan ini.
Terakhir,
dakwah juga tidak menutup mata terhadap kemungkinan sekelompok manusia yanng
gemar mengingkari kebenaran atau malah berusaha melawan kebenaran itu, sukar
diajak berdamai atau bekerja sama dan melulu mengingari kesepakatan. Mereka
senantiasa menghalangi kebebasan orang untuk berdakwah dan berusaha
menghalang-halangi orang untuk menerima kebenaran. Kelompok mad’u inilah yang
disebut sebagai kelompok kafir yang dapat eksis dalam setiap kelompok/penganut
agama. Terhadap mereka itu, da’I tidak dianjurkan untuk menunjukkan sikap
bersahabat dalam menyampaikan kebenaran. Lebih dari itu, adalah sikap tegas (al-ghits)
dan tegas (tasydid), bukan lagi tablig dan pertemanan (al-rifq).
B. Metode
Dakwah yang Tepat terhadap Mad’u Nonmuslim
Metode
dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’I (komunikator)
kepada mad’u untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.[3]
Metode dakwah bersifat dinamis dan kontekstual, sesuai dengan karakter objek
yang sedang dihadapi. Dalam perspektif ini, tak ada pemutlakan terhadap suatu
metode atau pendekatan dakwah. Kekuatan pilihan suatu metode sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor eksternal diluar metode itu sendiri, seperti materi yang
hendak disajikan, dan terlebih lagi, kepada siapa dakwah itu dilakukan ?.
Menurut
kami metode dakwah yang tepat terhadap mad’u non muslim diantaranya yaitu :
1. Debat
yang terpuji ( al-jadal al-husna)
Pendekatan
dakwah ini dilakukan dengan dialog yang berbasis budi pekerti yang luhur, tutur
kalam yang lembut, serta mengarah kepada kebenaran dengan disertai argumentasi
demonstratif rasional dan tekstual sekaligus, dengan maksud menolak argumen
batil yang dipakai lawan dialog. Dakwah melalui pendekatan ini sangat tepat
diterapkan kepada kelompok mad’u yang masih dalam pencarian kebenaran. Termasuk
dalam kelompok ini adalah orang-orang nonmuslim yang bersahabat. Mereka bisa
didekati dengan daakwah metode ini.
Kategori
mad’u munafik yang diperlakukan sebagai muslim juga didekati melalui metode
dakwah diolog terpuji. Metode ini dimaksudkan untuk mempertegas kebenaran yang
masih mereka ragukan, mengikis kepura-puraan beragama dan merobohkan segala
bentuk formalisasi beragama. Metode ini juga dapat mempertegas warna keimanan
mereka, apakah lebih dekat untuk beriman atau akut dalam kekafiran yang membuat
kaum muslim dapat jelas bersikap dan memperlakukan mereka, apakah harus lunak
atau keras. Dengan begitu, diharapkan mereka tidak lagi menjadi beban bagi
dakwah islam atau tidak lagi menjadi musuh dalam selimut.
2. Tindakan
balasan setimpal (iqabah bi al-mitsl)
Metode
deakwah ini mengakui dan melegalkan sikap keras dan tegas kepada kelompok mad’u
kafir, yaitu mereka yang gemar menunup-nutupi kebenaran, tidak kooperatif, dan
tidak mau bersahabat, menghalangi dakwah dan berniat menghancurkan dan memusuhi
agama, baik dari kelompok munafik maupun nonmuslim. Maksud yang ingin dicapai
dengan pendekatan dakwah ini adalah untuk menolak fitnah terhadap dakwah islam,
menghadirkan kebebasan beragama dan menumpas kesewenang-wenangan. Sebagai
pendekatan dakwh dengan basis kekerasan atau ketegasan, dakwah iqabah bi al-mitsl
dalam prakteknya tidak menghendaki perlakukan yang serampangan dengan hawa
nafsu. [4]
Diluar
dari metode Debat yang terpuji ( al-jadal al-husna) dan Tindakan balasan
setimpal (iqabah bi al-mitsl) juga dapat menggunakan metode lain yaitu:
Metode
hikmah menurut Al-qahtany, hikmah dalam konteks metode
dakwah tidak dibatasi hanya dalam bentuk dakwah dengan ucapan yang lembut,
nasehat motifasi, kelembutan dan amnesti, seperti selama ini dipahami orang.
Lebih daari itu, hikmah sebagai metode dakwah juga meliputi seluruh pendekatan
dakwah dengan kedalaman rasio, pendidikan, nasehat yang baik, dialog yang baik
pada tempatnaya, juga dialog dengan para penentang yang zalim pada tempatnya.
Hikmah berjalan pada metode yang realistis (praktis) dalam melakukan suatu perbuatan.
Maksudnya, ketika seorang dai akan memberika ceramahnya pada saat tertentu,
harusnya selalu memperhatikan realitas yang terjadi diluar, baik pada tingkat
intelektual, pemikiran, spikologis, maupun sosial.
Al-
mau’idza al-hasanah pendekatan dakwah melalui al-mau’idza
al-hasanah dilakukan dengan perintah dan larangan disertai dengan unsur
motifasi dan ancaman yang diutarakan lewat perkataan yang dapat melembutkan
hati, menggugah jiwa, dan mencaikan segala bentuk kebekuan hati, serta dapat
menguatkan keimanan dan petunjuk yang mencerahkan. Pendekatan dakwah ini secara
praktikal terdiri dari dua bentuk yaitu pengajaran dan pembinaan.
Jadi kalau kita telusuri kesimpulan dari
mau’idza al hasanah, akan mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam kalbu
dengan penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak
membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah lembutan dalam
menasehati sering kali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qolbu
yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan dari pada larangan dan ancaman.[5]
IV.
KESIMPULAN
Dakwah
diakui sebagai ajakan universal, artinya ajakan dakwah tidak dibatasi hanya
kepada kelompok tertentu. Untuk itu, tentu saja dakwah dituntut untuk
menyiapkan strategi yang berbeda ketika berhadapan dengan para kelompok mad’u
yang beragama islam dan mad’u non muslim. Non muslim yang kami maksud yaitu
mereka yang tidak mengimani nabi muhammad sebagai rasul. Dalam kelompok ini
terdapat beberpa golongan yaitu ahl al-kitab, musrikun, dan kafirun.
Metode
dakwah yang dilakukan terhadap golongan mad’u nonmuslim dapat dilakukan dengan
cara Debat yang terpuji ( al-jadal al-husna) dan Tindakan balasan setimpal
(iqabah bi al-mitsl). Namun hal ini juga bisa dilakukan dengan dengan metode
dakwah hikmah dan mau’idza al hasanah.
[1]
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, filsafat Dakwah : Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam ( Jakarta: Kencana, 2011) hal. 197
[2]
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, filsafat Dakwah : Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam ( Jakarta: Kencana, 2011) hal. 197-198
[3]
Drs.H. Munzier Suparta, M.A dan H.Harjani Hefni, Lc.,M.A, Metode Dakwah,
(Jakarta: Kencana, 2009) hal. 6
[4]
Ilyas Ismail dan Prio Hotman, filsafat Dakwah : Rekayasa Membangun Agama dan
Peradaban Islam ( Jakarta: Kencana, 2011) hal. 208
[5]
Drs.H. Munzier Suparta, M.A dan H.Harjani Hefni, Lc.,M.A, Metode Dakwah,
(Jakarta: Kencana, 2009) hal. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar